Minggu, 19 Juni 2011

Menjaga dan Meningkatkan Kualitas Kader Dakwah


           Kita dituntut untuk melebihi orang biasa karena kita telah memposisikan sebagai unsur perubah. Perubah harus punya bobot dan gravitasi agar orang-orang di sekitarnya dapat dipengaruhi dan dirubah. Itu harapan Rasulullah saw kepada umatnya yang kondisinya saat ini jauh dari harapan, yaitu berbobot dan memiliki gravitasi dan arus.
                Umat Islam yang berjumlah besar ini tidak memiliki bobot dan arus, seperti sabda Rasulullah saw, yang mengibaratkan umat Islam seperti buih arus. Kondisi ini karena uma Islam tidak berkualitas, terkena penyakit wahn, yaitu cinta dunia dan takut mati. Sepatutnya kader dakwah aalah orang-orang yang memiliki nilai tambah(+). Semakin tinggi kualitasnya, maka nilai positifnya semakin tinggi pula. Berarti akan menambah kuat arusnya terhadap masyarakat sekitarnya yang maih banyak nilai (-). Ini teori aliran listrik. Jadi dengan tingginya kualitas kader dakwah, mereka diharapkan dapat memberikan pencerahan nilai-nilai Islam dan menjadi arus Islam yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan mewarnai kehidupan masyarakat. Kualitas Sahabat Rasulullah saw: "Hai nabi, Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. (QS.Al-Anfal:65)"

            Al Qur’an menggambarkan tingginya kualitas sahabat, kader Rasulullah saw jumlah 20 orang sahabat menyamai 200 orang musuh Islam. Kualitas seperti ini adalah puncak kualitas sahabat yang pernah di masa Rasulullah saw. Menjadi rahmat Allahlah bahwa kemudian Allah meringankan beban dan tanggung jawab umat Islam menjadi dua kali dari kekuatan musuh. "Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar" (QS.Al-Anfal:66)
          Dengan keringanan ini berarti kualitas standar umat Islam adalah dua kali kualitas musuhnya. Jika hal ini menjadi acuan kita, maka seharusnya kader kita memiliki kualitas dua kali dari orang yang belum terbina. Karena itulah profil kader menjadi acuan kita dalam beramal dan memperbaiki diri pada proses tarbiyah. Jika profil tersebut telah kita miliki, maka kita dapat mengatakan bahwa kader tersebut adalah kader yang berkualitas. Dengan kualitas itu, maka ia dapat melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Di antara cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas kader sebagai berikut:


1. Meningkatkan kesadaran bahwa berada dalam jalan dakwah ini adalah nikmat Allah yang harus disyukuri

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS.Al Imran:103)
          Kebersamaan dalam kerja dakwah adalah nikmat Allah yang harus disyukuri. Mensyukuri nimat Allah dengan meningkatkan ubudiyah kepada-Nya. Kualitas ubudiyah sangat tergantung kepada kualitas iman dan pemahaman. Jika nikmat ini kita syukuri, maka dari hari ke hari kita akan menanyakan dalam diri kita, apakah harinya lebih baik dari hari sebelumnya atau tidak? Pertanyaan ini dapat menjadi motivasi diri untuk peningkatan. Itulah yang selau membakar semangat Ali bin Abi Thalib yang selalu ingin harinya lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Bahkan kita mencatat ucapannya yang masyur itu, bahwa orang yang harinya lebih buruk dari hari sebelumnya termasuk orang yang celaka, dan orang yang harinya sama dengan hari sebelumnya termasuk orang yang rugi. Orang yang beruntung adalah orang yang harinya lebih baik dair sebelumnya.
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“.(QS.Ibrahim:7)
Kesyukuran atas nimat berada pada ukhuwatul amal ini adalah dengan meningkatkan pemahaman Islam dan menjaganya agar tidak hilang.
2. Menumbuhkan dan meningkatkan semangat menuntut ilmu.

       Ilmu menjadi faktir penting dalam pembobotan amal perbuatan. Allah telah menegaskan bahwa tidak sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.
“Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS.Az-Zumar:9)
            Orang yang berilmu adalah orang yang amalnya berkualitas. Artinya segaa ubudiyahnya didasari dengan ilmu, pahalanya lebih besar dan lebih berbobot dibanding dengan orang yang tidak berilmu. Dengan ilmu amal perbuatan kita dapat terjaga agar tidak keluar dari tuntutan Rasul. Kesesuaian amal dengan sunnah Rasul merupakan satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah di sisi Allah Taala. Semakin kita berilmu semakin kita dapat menjaga tingkat kesesuaiannya dengan tuntutan Rasul. Dan semakin kita berilmu, kualitas dan bobot amal kita pun akan semakin tinggi di sisi Allah. Bandingkan dengan shalatnya orang awam dengan shalatnya orang yang berilmu, yang memahami semua bacaan dan mentadaburi bacaan shalat! Pasti tingkat kekhusu’annya akan berbeda. Orang awam mungkin hanya dapat melaksanakan kewajiban dan berpahala krn tidak melanggar perintah. Tapi orang yang berilmu, selain ia menunaikan kewajiban, ia juga mendapatkan ketenangan dan kedekatan kepada Allah Taala hasil dari penghayatannya terhadap bacaan shalatnya. Bukankah ini karena ilmu. Sehingga Imam Syahid Hasan Al Banna menjadikan al fahmu sebagai rukun yang pertama dari arkanul ba’iah yang sepuluh. Jadi kualitas kader akan ditentukan salah satunya dengan kualitas ilmunya.Lebih jauh bahasan tentang pemahaman atau ilmu ini Syaikh Musthafa Masyur menegaskan bahwa penyimpangan dan kesalahan akibat kerancuan pemahaman dan pendalaman ilmu seorang kader akan menyebabkan penyimpangan dalam gerakan dakwah yang sangat parah dibanding kesalahan teknis semata yang dilakukan kader akibat kelalaian atau kelemahan koordinasi dan kerjasama di lapangan.
3.Berteman dengan orang-orang shalih

        Agama seseorang sangat terpengaruh pula dengan lingkungan pergaulannya. Rasulullah menegaskan kepada kita bahwa jika kita ingin mengetahui kualitas keagamaan sesorang, maka lihatlah siapa yang bergaul bersamanya. Jika teman-temannya adalah orang yang baik, maka dipastikan bahwa ia juga baik, tetapi jika didapati teman pergaulannya adalah orang yang tidak baik, maka kemungkinan besar dia juga tidak baik.
            Ketika mihwar dakwah membesar dan bertambah luas cakupannya, maka lingkup pergaulan kader semakin terbuka dan semakin luas. Hasil dari keterbukaan pergaulan ini sedikit banyak mempengaruhi mann’ah, daya lindung kader. Melihat perkembangan ini, peningkatan kualitas kader menjadi sesuatu yang sangat urgen. Dalam kondisi ini, sebaiknya secara berkala kader menjalin silaturahim dengan kader lainnya yang mungkin karena kesibukan kerja dan tugas dakwah menjadi jarang bertemu dan bersilaturahim. Itulah yang dilakukan Ibnu Rawahah r.a. ketika mengajak Abu Darda r.a. dan berkata Ta’ala nu’mina saa’ah…(Kemarilah kita beriman (perbarui keimanan) sebentar). Sebelumnya juga Mu’adz bin Jabal r.a. berkata kepada saudaranya sambil memberi nasihat.”…Duduklah sebentar, mari kita beriman(perbarui keimanan)”.
Wallahu a’lam

(sumber: majalah Tasqif Edisi Juni-Juli 2006)