Seolah sebelum ajal menggerogoti umur mereka, Arek-arek Suroboyo hendak mematrikan slogan kepahlawanan ke dalam jiwa bangsa Indonesia “Merah putih harus berkibar gagah, Bahkan nyawa kami taruhannya!”
Nyawa yang mereka korbankan, dan saya yakin tak sedikit harta yang tergadai. Bahkan di salah satu sekuen yang melatarbelakangi meletusnya tragedi 10 Nopember adalah tewasnya peminmpin pasukan Belanda, W.V. Ch. Ploegman, di tangan arek-arek Suroboyo. Bukan karena harta, wanita, atau tahta mereka bergerak, tapi demi merobek kain biru yang mengotori merah putih di puncak hotel Yamato. Apakah itu hanya reaksi sesaat yang memuncak wajar, hasil pengejawantahan karakter pemuda yang berapi-api? Atau memang Soedirman, Sidik, Haryono, dan pejuang lainnya dengan sadar melakukan itu semua. Karena mereka yakin bahwa kisah heroik mereka kelak akan dibaca oleh generasi terbaik bangsa, dengan harapan terpiculah semangat kebangsaan dan tersemburatlah arti sebuah pengorbanan.
Cita-cita mereka saat ini terbukti tercapai, meski sebagian pupus. Bahagianya, kisah mereka sat ini menjadi kurikulum wajib yang harus dipelajari oleh kaum intelektual di jenjang sekolah dasar.Ttapi nelangsanya, nilai pengorbanan demi Indonesia madani yang mereka ingin tekankan nampaknya belum terlalu konkret berdampak. Kalau kita coba menilik, masih banyak saja yang berlama-lama membahas negara dengan aura pesimistis-negatif. Negatif dari segi pembahasan, kajian, hingga berdampak pada prilaku yang tidak produktif bagi kemajuan bangsa. Bahkan secara terang-terangan ada yang ingin mengganti negara ini secara frontal dan revolusioner dengan negara tandingan yang secara subjektif mereka anggap lebih berdaulat.
Boleh saja membahas permasalahan bangsa, tapi jangan sampai berkepanjangan. karena berkutat dengan masalah pun, tidak akan memberikan solusi. padahal kontribusi positiflah lah yang saat ini dibutuhkan oleh Indonesia kita. Kalau ada kata pepatah yang begitu bijak mengatakan “lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”, itulah konsepsinya.
Frame berfikir negatif-destruktif inilah yang harus kita robohkan dan mulailah membangun frame berfikir positif-kontributif untuk Indonesia madani. Jangan sampai niat kita untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan bermartabat di mata dunia dan di hadapan Allah swt luntur hanya karena sejumlah “oknum durhaka” yang tertenarkan oleh media. Seolah merekalah wajah Indonesia seluruhnya, “berwajah durhaka”. Padahal sekali lagi saya tekankan, bahwa mereka adalah oknum yang “ berdiri” pada salah satu sisi negatif bangsa ini, yakinlah bahwa masih banyak sisi-sisi positif Indonesia yang siap menjadi ranah fokus kerja kita.
Momen 10 Nopember ini adalah momentum refleksi bagi generasi bangsa untuk menginternalisasikan nilai-nilai jihad, pengorbanan, dan ghiroh membara para pejuang kemerdekaan dengan format baru yang lebih sesuai dan elegan. Bukan tak mungkin suatu saat nanti, cita-cita kita bersama-- yang harapannya beririsan dengan cita-cita luhur ribuan pahlawan yang gugur di medan pertempuran 10 November 1945-- akan terwujud. Dan harapkanlah cita-cita itu terwujud bukan dari tangan orang lain, tapi dari tangan ikhlas kita.
Lantas, buat apa kita harus berbuat seperti itu? Kenapa kita harus cinta tanah air? Karena wahai sahabatku, Rosulullah pun begitu cinta dengan tanah airnya Makkah, maka tak ada salahnya kita pun turut mencurahkan cinta kepada tanah air kita, Indonesia. Hanya saja, suatu konsepsi yang harus di tekankan adalah bahwa batas-batas teritorial suatu negara tak pantas menjadi sekat atas kecintaan dan kepedulian kita terhadap saudara-saudara kita sesama kaum muslimin. Dimanapun, di belahan dunia yang lain.
Wallahua’lam bi shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar